Powered By Blogger

Selasa, 17 Juni 2008

Mengapa harus Dakwah disekolah?


“Pengalaman dakwah di berbagai negara: kesuksesan pembinaan generasi muda banyak dimulai dari : dakwah sekolah.”
PRINSIP PENDINIAN TARBIYAH
Selanjutnya kita mulai memasuki pembahasan bagaimana mulai membangun kepribadian generasi muda kita.
Sebenarnya, Islam telah mengajarkan bahwa menanam bibit generasi yang sholeh harus dilakukan sedini mungkin.
Seorang bayi sunnah diazankan dan diiqomatkan ketika baru lahir[15] adalah bagian dari pendinian proses tarbiyah itu; agar kalimat pertama yang didengarnya adalah kalimat tauhid dan kebaikan semata, dan agar syaitan menjauhinya dari menyesatkannya.
Bahkan jauh sebelumnya, seorang pemuda yang siap menikah hendaknya memilih calon isteri yang memiliki ‘dzatud dien’, memiliki penghayatan dan pengamalan agama yang baik, agar kelak berpotensi melahirkan bibit generasi yang shalih.
Nasihat Luqman kepada anaknya yang diabadikan oleh Allah SWT dalam surah Luqman ayat 12-19, menginspirasikan kita bahwa pembinaan anak-anak adalah sangat efektif untuk mencetak kepribadian dan karakter yang kuat sejak dini hingga mewujudkan kader-kader belia yang akan berjuang di tengah masyarakat dengan sabar dan siap menghadapi ujian-ujian kehidupan dan perjuangan.
Banyak riset pendidikan modern saat ini menyimpulkan bahwa proses pendinian kematangan kepribadian seseorang dapat segera dilakukan. Apalagi ada indikasi bahwa kematangan biologis seorang remaja mengalami percepatan dalam beberapa tahun terakhir karena gizi yang meningkat dan arus informasi yang amat pesat. Adalah bahaya besar, apabila kematangan ini tidak diimbangi dengan kematangan kepribadian dan bahkan kemandirian, karena akan terjadi penyimpangan-penyimpangan pergaulan yang tidak bertanggung jawab.
Tetapi Islam ternyata lebih dahulu percaya bahwa pendinian itu adalah sangat mungkin dilakukan, dan bahkan dapat memberikan hasil yang mengejutkan.
Kematangan dini itu amat tampak misalnya pada kisah seorang sahabat Rasulullah Saw yang fenomenal: Usamah yang pada usia 18 thn memimpin pasukan Islam pertama ekspansi keluar Jazirah Arab. Kemudian Imam ath Thobari, seorang ahli tafsir besar telah hafal Al Qur’an pada usia 7 th dan menjadi Imam pada usia 8 tahun. Imam Ibnu Taimiyah telah memberikan fatwa pada usia 15 tahun. Muhammad al-Fatih Murad membebaskan Konstantinopel pada usia 24 tahun, yang telah menjadi mimpi 8 abad umat Islam.
Kematangan dini itu pun juga tampak pada episode kehidupan yang lebih pribadi : pernikahan dini! Ya, Amru bin Ash, pahlawan Islam yang membebaskan Mesir menikah pada usia 12 tahun. Muhamad Abdul Wahab sang pembaharu Islam menikah pada usia 12 tahun, Ali bin Abi Thalib ra menikah pada usia 16 tahun, dan nama-nama besar lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Pernikahan dini tersebut tentu saja telah diimbangi dengan kemandirian dini secara finansial pula.
Kematangan-kematangan diatas Allah puji sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya, Allah mencintai pemuda yang tidak mempunyai sifat kekanak-kanakan.”
Umumnya kematangan dini di atas diproses oleh institusi yang inti : keluarga. Dan sebagian besar keluarga-keluarga di Indonesia ini, telah melewati masa-masa emas pendinian pembinaan anak dengan gagal. Itulah saat ini yang menjadi permasalahan dan pembahasan kita yang utama : produk remaja-remaja yang lemah moralitasnya dan rentan dengan air bah demoralisasi.
Pada buku ini, kita akan membahas pembinaan dan dakwah yang harus dilakukan di lokasi eksternal tempat sebagian besar komunitas remaja itu berada : SEKOLAH. Inilah medan dakwah yang sangat strategis dan telah menjadi tanggung jawab publik secara luas untuk menggarapnya.
URGENSI DAKWAH SEKOLAH
Ada 3 alasan utama yang menjelaskan urgensi dakwah sekolah yakni: (a) efektif, (b) masif, (c) strategis. Alasan-alasan ini sangat khas dan membedakannya dengan segmen dakwah yang lain.
a. Efektif
Tidak diragukan lagi bahwa menanamkan aqidah dan moralitas kepada remaja dan pemuda adalah jauh lebih efektif daripada berdakwah kepada golongan tua yang telah sarat dengan kontaminasi kepentingan pragmatis dan ideologis.
Usia muda adalah periode emas untuk belajar, menanamkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan. Sebuah pepatah Arab mengatakan “belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan belajar di masa tua bagaikan menulis di atas air”.
Pengalaman gerakan dakwah di berbagai negara menunjukkan bukti yang sama. Di Indonesia, peluang dakwah dan proses tarbiyah yang efektif banyak berawal dari dakwah sekolah, baik di SLTA maupun SLTP. Penggerak dakwah kampus di berbagai perguruan tinggi besar seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan sebagainya sebagian besar berasal dari aktifis dakwah sekolah.
b. Masif
Disebut “masif” atau massal adalah karena jumlah populasi pelajar sangat banyak dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Populasi pelajar ini juga jauh melebihi populasi mahasiswa yang hanya berada di kota-kota besar.
Dari 74 juta populasi pemuda Indonesia berusia 15 – 35 tahun di tahun 2000, 24,5% tamat SLTP, dan 23,02% tamat SLTA. Bandingkan dengan 3,86 % yang berhasil menamatkan pendidikan sarjana muda dan sarjananya.[16]
Obyek dakwah yang massif tentu saja sangat vital. Bila pengaruh dakwah sedemikian besar kepada segmen pelajar, maka perbaikan moralitas dan fikroh masyarakat akan tumbuh secara massif pula.
c. Strategis
Disebut strategis karena dakwah sekolah dalam jangka panjang akan mensuplai SDM shalih di berbagai lapisan masyarakat sekaligus, baik buruh dan pekerja, wiraswastawan dan kaum profesional, serta calon pemimpin di masa depan. Mengingat perannya yang amat strategis ini, maka tidak heran lahan dakwah sekolah ini menjadi rebutan berbagai ideologi.
Maka bayangkanlah apa yang terjadi apabila dakwah sekolah kita maju dan berkembang. Tatkala ia berhasil menumbuhsuburkan kader-kader muslim yang banyak dan berkualitas juga simpatisan-simpatisan dakwah yang massal. Mereka akan mengisi dan mewarnai lembaga-lembaga profesi di masa depan: perusahaan-perusahaan, instansi pemerintah, birokrasi, perguruan tinggi, LSM, wiraswasta, dan tentu saja di masyarakatnya sendiri, baik sebagai pemimpin-pemimpin hingga level grass root (basis massa).
Mereka akan menjadi agen-agen perubahan skala sistem; membersihkan seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dari kuman-kuman korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah akut.
Mereka adalah darah baru yang akan membawa bangsa dan ummat Islam kepada zaman baru; era baru yang lebih cemerlang, maju, adil, sejahtera dan –tentu saja- berakhlak.
KERJA BESAR UNTUK PERUBAHAN BESAR
Maka, tidak berlebihan kalau kita katakan dakwah sekolah memiliki pengaruh amat besar bagi perubahan besar di negeri ini.
Ini adalah kerja besar yang harus didukung seluruh pihak, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Para pelajar aktifis Rohis tentu menjadi garda terdepan proyek besar ini. Alumni memberikan pembinaan, transfer pengalaman dan bahkan dana. Guru-guru memberikan suri tauladan dan dukungan. Kepala sekolah menggunakan otoritasnya mempermudah kegiatan-kegiatan keislaman. Orang tua siswa memberikan dorongan, bantuan dana dan fasilitas lainnya bila memungkinkan. Para ulama dan asatidz berbobot meluangkan waktunya untuk turut memberikan pengajaran dan bimbingannya yang dibutuhkan pelajar.
Bahkan, pejabat pemerintah dan anggota legislatif di DPRD tingkat I, II maupun Pusat menggunakan otoritasnya untuk membuat program, produk perundang-undangan dan menganggarkan dana yang besar untuk pembinaan moral generasi muda.

Tidak ada komentar: